KotaKita.net, Kab. Mojokerto – Pemerintah Kabupaten Mojokerto melalui Dinas Pendidikan (Disdik) menyerahkan pengerjaan proyek Konstruksi dengan total lebih dari Rp. 8 Milyar untuk Kelompok Masyarakat (Pokmas). Disdik memilih sistem Swakelola tipe 4 meski pekerjaan tergolong jenis yang diminati oleh pelaku usaha. Pemkab mengklaim hal ini telah sesuai dengan aturan yang berlaku. Minggu (3/9/2023)
Sejumlah kontraktor menggerutu dengan manuver Dinas Pendidikan Kabupaten Mojokerto. Bagaimana tidak, proyek rehabilitasi berat dan bangunan ruang kelas baru dengan total anggaran Rp.8 Milyar diserahkan kepada Kelompok Masyarakat yang tidak memiliki izin usaha konstruksi standart (SBU dan SKK). Proyek-proyek fisik ini tersebar di beberapa SMPN, SD dan PAUD di Kabupaten Mojokerto.
“untuk apa kita ngurus SBU dan SKK kalau begitu lebih baik diswakelolakan saja semua,” kata Mr. X kontraktor yang kesal dan tidak mau disebut namanya. (Red. Hak Tolak).
Kekesalan kontraktor cukup beralasan. Pekerjaan yang diswakelolakan oleh Disdik adalah pekerjaan-pekerjaan yang diminati oleh pelaku usaha kontruksi dalam lelang tender. Sebagai perbandingan, Media KotaKita.net mengambil beberapa contoh lelang tender Rehabilitasi ruang kelas dan pembangunan ruang kelas tahun APBD 2023 di Kabupaten Mojokerto.
Di SMPN 1 Mojosari, tender Rehabilitasi Sekolah diikuti 30 penawar dari 88 peserta lelang yang mendaftar. Ada juga tender proyek Penambahan Ruang Kelas Baru di SMPN2 Kemlagi yang diikuti 23 pelaku usaha konstruksi yang bersaing melakukan penawaran. Begitu pula Tender proyek Rehabilitasi SMPN 1 Kutorejo diikuti oleh 16 pelaku usaha yang menawar paket pekerjaan ini.
Hal ini penting diketahui oleh masyarakat karena dalam PERLEM LKPP Nomor 3 Tahun 2021 tentang Pedoman Swakelola di bagian lampiran disebutkan bahwa, Swakelola dilaksanakan manakala barang/jasa yang dibutuhkan tidak dapat disediakan atau tidak diminati oleh pelaku usaha atau lebih efektif dan/atau efisien dilakukan oleh Pelaksana Swakelola.
Proyek-proyek yang diswakelolakan oleh Dinas Pendidikan adalah proyek-proyek yang kompetitif dan diminati banyak pelaku usaha dalam tender. Sebut saja “Rehabilitasi Gedung SMPN2 Pungging” Senilai Rp. 1 Milyar yang dikerjakan POKMAS HIDUP MAKMUR. Ada juga proyek Rehabilitasi Ruang Kelas SMPN 1 Pungging yang dikerjakan POKMAS CAHAYA BUANA dengan anggaran Rp. 1,3 Milyar.
Kepada KotaKita.net, Pemkab Mojokerto mengakui bahwa Pokmas yang mengerjakan peroyek-proyek tersebut tidak memiliki SBU dan SKK, meski demikian Pemkab menggaransi bahwa proyek Swakelola ini telah sesuai dengan Peraturan perundangan yang berlaku.
“ya memang karena Pokmas bukan badan usaha jadi ngak perlu ada SBU dan SKK,” kata Ardi, sapaan Kadis Kominfo Kabupaten Mojokerto yang mendampingi dinas Pendidikan memberikan konfirmasi.
Awak media mencoba meminta tanggapan praktisi hukum Muhhamad Khoirul S.H. terkait hal ini. Menurut pria kelahiran Bojonegoro ini, ada beberapa prinsip pengadaan barang/jasa yang perlu diperhatikan terkait permasalah ini. Dalam Perpres 16 tahun 2018 dan perubahannya dalam Perpres 12 tahun 2021 ada 7 prinsip pengadaan barang/jasa pemerintah, diantaranya; efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil; dan akuntabel.
Menurutnya prinsip yang pertama hingga ke empat memang masih dapat diperdebatkan terkait permasalahan ini. Namun jika berbicara tentang perinsip bersaing, maka pengadaan dengan sistem swakelola tidak mungkin ada persaingan. Karena memang tidak dikompetisikan.
“itu sebabnya kita memahami dalam Perlem LKPP nomor 3 tahun 2021 disebutkan bahwa Swakelola dilaksanakan manakala barang/jasa yang dibutuhkan tidak dapat disediakan atau tidak diminati oleh pelaku usaha atau lebih efektif dan/atau efisien dilakukan oleh Pelaksana Swakelola,” kata Khoirul.
Justru, lanjut Khoirul, jikalau proyek-proyek yang ramai peminat atau kompetitif dijadikan swakelola, maka yang perlu dipertanyakan adalah komitmen penyelenggara dalam menciptakan persaingan usaha yang sehat.
“yang diswakelolakan seharusnya bukan proyek yang kompetitif sehingga tidak bertentangan dengan prinsip pengadaan, tidak salah jika masyarakat berpraduga jangan-jangan penyelenggara sengaja memilih Swakelola agar dapat menunjuk langsung Pokmas yang dikehendakinya,” kata Khoirul.
Masih penjelasan Khoirul, komitmen penyelenggara terhadap Prinsip keadilan dan akuntabel dalam pengadaan barang/jasa pemerintah juga patut pertanyakan. Terhadap jenis paket pengadaan konstruksi yang hampir identik sama, terdapat pelakuan yang berbeda.
Terhadap penyedia jasa konstruksi yang satu diberlakukan syarat standart seperti wajib ber SBU, SKK, memiliki kemampuan dasar, memiliki dokumen dukungan, wajib menyampaikan jaminan pelaksanaan sebesar 5 % dari Kontrak, dan seterusnya.
“tapi kepada Pokmas dibebaskan dari seluruh persyaratan standart penyedia jasa konstruksi padahal pekerjaannya hampir sama,” kata pria berambut cepak ini.
Sedangkan dari sisi Akuntabilitas Pemkab Mojokerto diminta untuk melihat pasal 70 Undang-undang nomor 2 tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi serta perubahannya. Dimana disebutkan bahwa setiap tenaga kerja konstruksi yang bekerja di bidang jasa konstruksi wajib memiliki Sertifikat Kompetensi Kerja (SKK).
“Di dalam hukum itu ada yang namanya azas lex superior derogat legi inferiori, meskipun tidak diatur dalam Perpres maupun Perka LKPP, namun Undang-undang mewajibkan tenaga kerja konstruksi memiliki standart kompetensi, Undang-undang lebih tinggi kedudukannya dari Perpres dan Perka LKPP, sehingga kedua Peraturan yang lebih rendah ini patut dikesampingkan dalam kasus ini,” jelas Khoirul.
Sehingga, lanjut irul, Pokmas yang tidak memiliki tenaga kerja ber SKK, tidak akuntabel dan bertentangan dengan prinsip pengadaan untuk mengikatkan kontrak dengan pemerintah dalam mengerjakan proyek jasa konstruksi.
Penulis : Bejo.